Negosiasi dan Mediasi, Alternatif Selesaikan Sengketa Pasien dan Nakes

Meimonews.com – Negosiasi dan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution) dapat menjadi upaya yang efektif untuk menyelesaikan kecenderungan meningkatnya sengketa medis pasien yang menggugat tenaga kesehatan (nakes).

Hal tersebut disampaikan Dr. Paulus Januar drg, MS, CMC pada seminar Professional Leadership Academy bagi tenaga kesehatan yang diikuti dokter, dokter gigi, perawat, dan apoteker di Jakarta, Sabtu (21 /1/2023).

“Negosiasi dan mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa medis secara cepat, efektif, murah, serta adil,” ujar Paulus yang adalah Ketua Badan Kehormatan Etik Mediator dan Legislasi PKMBI (Perkumpulan Konsultan Mediasi Bersertifikat Indonesia).

Disebutkan, sengketa medis merupakan sengketa yang terjadi antara pasien dengan nakes atau antara pasien dengan rumah sakit/fasilitas kesehatan. Sengketa medis umumnya karena pasien tidak puas atau tidak senang dengan pelayanan kesehatan yang diperolehnya, serta dipandang penyebabnya karena kesalahan atau kelalaian tenaga nakes yang merawatnya.

Saat ini, masyarakat yang tidak puas terhadap pelayanan kesehatan yang diperolehnya cenderung dengan mudah menuntut dan menggugat. Sebagai akibatnya sengketa medis semakin meningkat intensitas maupun jumlahnya. Cukup banyak dokter, dokter gigi, perawat dan bidan yang diadukan dengan tuduhan melakukan malpraktik medis.

“Masyarakat umumnya berpandangan, sengketa medis lebih baik diselesaikan di pengadilan. Namun permasalahannya, penyelesaian melalui pengadilan relatif lama, biaya tidak sedikit, serta pembuktian di pengadilan tidak mudah,” tandasnya.

Sebenarnya, ungkap Paulus, terdapat alternatif penyelesaian sengketa medis dalam bentuk negosiasi dan terutama mediasi. Malah, pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ditetapkan, dalam hal tenaga medis diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, harus diusahakan diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

Negosiasi merupakan penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan perundingan antar para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan bersama. Sedangkan mediasi merupakan penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan perundingan antar para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan bersama dengan difasilitasi mediator sebagai pihak ke tiga yang netral.

Dikemukakan, kerapkali negosiasi tidak berhasil mencapai kesepakatan karena kedua belah pihak bersikukuh dengan pendiriannya. Sedangkan mediasi merupakan negosiasi yang disertai peran mediator. Peran mediator menjadi unsur penting dalam penyelesaian sengketa karena berperanan dalam membantu saling pemahaman, mengendalikan proses, serta mendorong inisiatif mencari penyelesaian bersama.

Mediator, menurutnya, adalah pihak netral yang membantu para pihak yang bersengketa dalam proses perundingan mediasi guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Terdapat mediator bersertifikat berdasarkan pendidikan mediator yang diselenggarakan oleh lembaga yang terakreditasi oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Dalam kaitan dengan mediasi sengketa medis, diharapkan terdapatnya mediator profesional yang bersifat netral serta memahami permasalahan medis.

“Saat ini terdapat tenaga kesehatan seperti dokter, dokter gigi, dan perawat yang telah menempuh pendidikan mediator bersertifikat,” ujar mediator bersertifikat ini.

Dijelaskan, secara lebih mendasar, negosiasi dan mediasi merupakan perwujudan keadilan restoratif (restorative justice). Keadilan restoratif adalah penyelesaian sengketa dengan melibatkan pelaku, korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan, dan bukan penghukuman apalagi balas dendam.

Dalam penegakan hukum berlangsung pergeseran paradigma dari keadilan retributif yang cenderung punitif (menghukum) menjadi keadilan restoratif yang memperhatikan kepentingan pihak yang dirugikan.

“Keadilan restoratif pada hakikatnya hendak menempatkan fungsi penjatuhan hukuman sebagai ultimum remidium, yaitu solusi akhir apabila upaya hukum lainnya sudah tidak bisa digunakan lagi,” sebutnya.

Namun di lain pihak, sambungnya, negosiasi dan mediasi terhadap sengketa medis sebagai perwujudan keadilan restoratif, sama sekali bukan upaya impunitas untuk membenarkan yang salah, melainkan justru untuk semakin meningkatkan profesionalisme dan tanggung jawab pelayanan kesehatan.

Koordinator seminar Professional Leadership Academi Dr Hananto Seno drg, SpBM(K) MM CMC, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan upaya untuk bersama-sama mengatasi permasalahan maupun kebutuhan bersama para tenaga kesehatan.

Seminar ini diselenggarakan berkat kerja bareng PKMBI, Yayasan PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia), ICD (International College of Dentistry), IDI (Ikatan Dokter Indonesia), serta didukung alomedika dan Formula. (Fer)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *